Entri yang Diunggulkan

MAKALAH PENDEKATAN KAJIAN KEBUDAYAAN ISLAM (Oleh Rina Hartati, SHI)

BABI PENDAHULUAN Secara umum studi Islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada...

Rabu, 01 November 2017

MAKALAH PASCA SARJANA USHUL FIQH "MAZHAB SHAHABI DAN SYAR'U MAN QABLANA"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam lingkup hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dari hukum Islam, sehingga semua ketentuan hukum yang dibuat oleh manusia harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Namun demikian, adakalanya ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak serta merta dapat diterapkan secara langsung dalam menetapkan hukum untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas.
Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi dan Syar’u Man Qoblana . Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang hal-hal tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian madzhab shahabi? Apa saja kehujjahan, macam-macam madzhab shahabi dan contoh-contoh madzhab shahabi ?
2.      Apa pengertian syar’u man qoblana? Apa saja kehujjahan, macam-macam syar’u man qoblana dan contoh-contoh syar’u man qoblana ?
C.    Tujuan penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi. Memperoleh pengetahuan tentang kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi, pengelompokan dan contoh-contohnya.
2.      Mengetahui pengertian dari Syar’u Man Qablana, kehujjahannya, macam-macamnya dan contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Madzhab Shahabi
Madzhab adalah isim makan ( kata yang menunjukkan tempat ) yang diambil dari fi’il madhi ( kata dasar ) zahaba yang berarti pergi. Bisa juga berarti ar-ra’yu yang berarti pendapat. Pengertian madzhab dalam istilah fiqih meliputi dua pengertian sebagai berikut :[1]
1.      Jalan pikiran atau metode ( manhaj ) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum islam.
2.      Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti dalam memutuskan suatu peristiwa.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah, beriman kepadanya, senantiasa bersamanya, mendapatkan ilmu dari beliau dan hidup matinya dalam keadaan islam, seperti Abdullah bin ‘Abas, Umar bin khatab, Aisyah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin abi Thalib. Inilah para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum-hukum islam.[2]
Secara bahasa qaul artinya perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi artinya sahabat.
Di dalam kitabnya Tajrid Al-Shorih, Abu ‘Abbas Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdul Lathif menerangkan bahwa pengertian sahabat adalah orang yang pernah menemani atau pernah melihat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan islam.[3]
Menurut pandangan Imam syafi’i, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik Kitab (Al-Qur’an) maupun Sunnah.[4]
Mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW.tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli hadist berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al- Hadits adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib.
Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam. Qaulush-shahabi adalah perkataan para shahabat nabi atas suatu hukum. Secara logika nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari Rasulullah SAW juga. Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak  ada nash yang sharih dari Rasulullah SAW tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat mengeluarkan pendapatnya. Selain itu, qaulush-shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum yang lafaznya tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para shahabat. Seperti seorang shahabat berkata, Rasulullah SAW memerintah kita untuk begini dan begini. Atau perkataan seorang shahabat, Rasulullah SAW melarang kita untuk begitu dan begitu.
Di antara para ulama yang berpegangan pada qaulush-shahabi adalah Al-Imam Malik rahimahullah. Selain itu beliau juga berpegangan pada sumber istimbath lainnya seperti mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah, ijma qiyas, amal ahlul madinah. Istihsan, saddudzarai muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana. Beliau yakin bahwa perkataan atau pendapat para shahabat lebih utama untuk dipegang dan diikuti ketimbang ijtihad kita sendiri. Sebab para shahabat itu pernah hidup bersama dengan Rasulullah SAW.
Sehingga mereka bisa dianggap barisan orang yang paling mengerti sunnah beliau, paling paham dengan Islam langsung dari sumber aslinya, serta paling tahu seluk-beluk turunnya Al-Quran. Bahkan para ulama yang berpegang kepada qaulush-shahabi mengajukan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah An-Nabawiyah yang menegaskan bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAW memang memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah para shahabat beliau. Allah SWT berfirman:
وَأَطِيعُوااللَّهَ وَ أَطِيعُواالرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : Taatilah Allah, taatilah rasulullah dan para            pemimpinmu.
Sedangkan di antara para ulama yang tidak menerima konsep qaulush-shahabi antara lain adalah murid Imam Malik sendiri, yaitu Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah. Beliau tetap hormat dan mengagungkan para shahabat nabi SAW. Namun untuk kepastian dan keoriginalitasan suatu hukum syariah, beliau memandang bahwa perkataan sahabat kurang punya aspek kekuatan.
Ada banyak alasan yang beliau kemukakan, salah satunya karena dianggap perkataan para shahabat itu tidak lebih dari sebuah ijtihad. Dan sebagai ijtihad manusia, masih ada kemungkinan untuk salah. Padahal yang namanya landasan hukum itu harus pasti kebenarannya. Tidak bisa hanya berdasarkan zhan. Kalau memang Rasulullah SAW telah mengeluarkan hukum, seharusnya ada lafaz asli yang diriwayatkan secara utuh dari beliau SAW. Adapun bila sekedar kesimpulan atas interpretasi seseorang, meski pun yang melakukannya para shahabat, belum cukup untuk sampai ke derajat sebagai sumber hukum yang kuat. Sebab di antara para shahabat sendiri sesungguhnya masih seringkali terdapat perbedaan interpretasi dalam memahami sabda Rasulullah SAW.[5]

B.     Kehujjahan Madzhab Shahabi
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu; Pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat lain, dan kehujjahannya terdapat generasi berikutnya atau orang yang selain sahabat. Pembahasan dari segi bentuk mazhab shahabi dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Beberapa diantaranya yaitu :
Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’i berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).
Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq, tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainya, baik ia seorang imam, hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini di nukilkan oleh dua pakar ushul fiqih, yaitu : Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan beberapa argumen.
Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari rasulullah.
Para ulam juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang  (ijma’ as-sukuti) yang dalam istilah lain disebut dengan mazhab ash-shahabi, misalnya :bagian warisan nenek perempuan adalah seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para ulam juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi.
Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama diantaranya yaitu; Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’i yang lama (qaul al-qadim) dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT pada suarah Ali Imran (3): 110 yang berbunyi
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Ayat ini ditujukan kepada sahabat, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Husen yang berbunyi : “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan persyariatan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau,dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-adalah), yang sangat sulit diterima, menurut kebiasaan, jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.
Dalam beberapa literature  ushul fiqih, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut :
1.      Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang menyatakan “ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”. Hadits ini dinyatakan hasan al-Tarmidzi.
2.      Pendapat dari empat orang Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi; “adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku”.
3.      Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’i bukan karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukanya ke khulafah dan waktu itu para sahabat yang bisa menjadi nara sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah  pada masa sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi.
4.      Pendapat sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Rasulullah menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid bin Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris); Muaz ibn Jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali Abi Thalib dalam masalah peradilan. Dikalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat sahabat secara mutlak muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas. Ulama yang berpendapat bahwa sahabat itu menjadi hujjah dan berada diatas qiyas, sehingga kalau terjadi pembenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini, bila ada dua pendapat yang berada dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaiannya dua dalil yang bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang terkuat).
5.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah, namun kedudukannya dibawah qiyas dan bila terjadi pembenturan antara keduanya maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat. Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umunya dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat yaitu: Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umunya dalil, sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujjah.
Ulama lainya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum. Dikalangan ulama yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh bertaqlid kepada sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat yaitu: (1) Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional, bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah sahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujatahid sahabat.   (2) Qaul qadim (pendapat lama)dari al-Syafi’i mengatakan boleh  bertaqlid kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun belum dibukukan.

C.    Macam-macam Madzhab Shahabi
Madzhab shahabi ini dapat dikelompokan dalam empat kategori yaitu:
1.      Pendapat sahabat mengenai suatu persoalan yang bukan medan ijhtihad, disepakati sebagai hujjah karena dikategorikan sebagai sunnah yang berasal dari Nabi. Misalnya madzhab ibnu Mas’ud dan Anas bahwa batas minimal haid selama tiga hari, madzhab Aisyah bahwa masa kehamilan paling panjang selama dua tahun.
2.      Pendapat sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka masuk kategori ijmak sahabat yang disepakati kehujjahannya. Seperti penetapan hak waris nenek sebanyak seperenam.
3.      Pendapat sahabat perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Buktinya dalam banyak kasus terjadi perbedaan pendapat dikalangan mereka.
4.      Yang diperselisihkan oleh ulama adalah apakah madzhab secara perseorangan mengikat ulama islam sesudahnya atau tidak.
Menurut pandangan abi  Zahrah, fatwa shahabat bisa terdiri dari beberapa macam:
a.       Apa yang disampaikan shahabat itu berupa berita yang didengarnya dari rasulullah, tetapi ia tidak mengatakan bahwa berita itu sebagai sunnah nabi SAW.
b.      Apa yang diberitakan para shahabat itu  suatu yang didengarnya dari orang yang pernah mendengarnya dari nabi SAW, tapi orang tersebut tidak menjelaskan yang didengarnya itu berasal dari nabi.
c.       Sesuatu yang disampaikan shahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-qur’an sedangkan shahabat lain tidak memahaminya.
d.      Sesuatu yang disampaikan para shahabat itu telah disepakati lingkungannya. Namun, menyampaikannya hanya shahabat sendiri.
e.       Apa yang disampaikan shahabat itu merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena kamampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafaz.[6]
Selain itu juga terdapat ulama yang mengklasifikasikan pendapat sahabat menjadi 4 bentuk:
                          1.      Madzhab sahabat yang bukan hasil ijtihadnya, tetapi kemungkinan besar berasal dari Rasul. Misalnya batas minimal mahar adalah sepuluh dirham. Model pendapat seperti ini telah disepakati oleh ulama dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
                          2.      Madzhab sahabat yang disepakati oleh mereka semua, hal ini dikenal dengan ijma’ sahabat. Misalnya mereka sepakat melarang seorang laki-laki madu (poligami) dengan bibi istri dari jalur ayahnya ataupun ibunya. Model ini juga disepakati oleh ulama dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
                          3.      Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian Hanabilah: madzhab sahabat dapat dijadikan pegangan generasi sesudahnya.
                          4.      Mu’tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: madzhab sajabat tidak dapat dijadikan sebagai pegangan generasi sesudahnya.

D.    Contoh-contoh Madzhab Shahabi
1)      Seperti kasus pembangian warisan, nenek mendapat bagian 1/6.
2)      Pendapat Utsman bin Affan tentang hilangnya shalat jum’at apabila bertepatan dengan dua hari raya yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.
3)      Pendapat Ibnu Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian anak kecil.
4)      Pendapat aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perut ibunya lebih dari dua tahun.
5)      Pendapat Anas bin Malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga) hari.
6)      Pendapat umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya.

E.     Pengertian Syar’u  Man  Qoblana
Syar’u Man Qablana secara etimologis berarti: “Hukum yang disyari’atkan oleh Allah SWT bagi orang-orang (umat-umat) sebelum kita”.
Syaru man Qablana berasal dari kata Syara’a dan Qabl. Kata Syar’u/syir’ah yang berarti harfiahnya syariat merupakan kata jadian dari asal kata Syara’a, pada dasarnya berarti sebuah aliran air, namun dapat berarti pula sebuah agama, hukum syariat. Sedangkan Qablana berarti sebelum Islam, yaitu syariat-syariat yang diturunkan Allah SWT kepada nabi-nabi yang diutus sebelum Muhammad SAW.
Yang dimaksud Syar’u Man Qablana oleh para ahli ushul ialah syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw.[7]
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.
Ada juga yang mendefinisikan Syariat yang Allah turunkan pada tiap Nabinya untuk didakwahkan pada masing-masing umatnya yang dibenarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, namun kesemuanya berujung bahwa Syar’u Man Qablana adalah syariat yang ada sebelum Nabi Muhammad SAW.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:
* tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù 4 uŽã9x. n?tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? ÏmøŠs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ムÇÊÌÈ
Artinya: "Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syuûra: 13)[8]
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsep ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita (Syar’u Man Qoblana) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad SAW. [9]
Sebagaimana diyakini, syariat Nabi Muhammad merupakan syariat terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia. Di dalam Alqur’an pun juga banyak terdapat kisah para nabi terdahulu, serta hukum-hukum  syara’ yang berlaku pada mereka dan umatnya.[10]

F.     Kehujjahan Syar’u Man Qoblana
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah syari’at sebelum kita itu dapat menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad SAW. Pendapat-pendapat mereka bisa dikelompokkan sebagai berikut :
Sebagaian Sahabat Abu hanifah, Sebagian Ulama’ Malikiyah, Sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Al qur’an atau sunah nabi meskipun objeknya tidak untuk Umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah : “ Syari’at untuk umat sebelum kita juga berlaku untuk syari’at kita.” Mereka juga mendasarkan pada Nash Alqur’an dalam SuratAs-Syura (13).
Jumhur Ulama’ hanafiyah, Hanabilah, sebagian Syafi’iyah, Malikiyah serta Ulama’ kalam As’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat Bahwa ajaran-ajaran terdahulu tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Mjhammmad SAW. Alasanya adalah bahwa syari’at terdahulu itu secara khusus berlaku bagi umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum. [11]
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Raj’ih dari kalangan Syafi’i mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam. Diantaranya alasan mereka adalah:
1.      Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah yang artinya :
“ Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
2.      Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
Artinya : “ Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan”.(QS.an-Nahl/16:123).

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# yyd ª!$# ( ãNßg1yßgÎ6sù ÷nÏtFø%$# 3 @è% Hw öNä3è=t«ór& Ïmøn=tã #·ô_r& ( ÷bÎ) uqèd žwÎ) 3tø.ÏŒ šúüÏJn=»yèù=Ï9 ÇÒÉÈ
Artinya : “ Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.”(QS. Al-An’am/6:90).

Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an, tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW, kecuali ada ketegasan untuk itu. Diantara alasan mereka[12] : dalam Firman Allah
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ
Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS.al-Maidah/5:48).

Sebagian ulama’ mengatakan : bahwa ia bukanlah syariat bagi kita, karena syariat kita telah menghapuskan terhadap berbagai syariat yang terdahulu, kecuali bila ada sesuatu yang menetapkannya dalam syariat kita. Namun yang benar adalah madzhab   yang pertama, karena syariat kita hanya menghapuskan syariat terdahulu yang bertentangan dengan syariat kita saja, dan karena al-qur’an telah menceritakan kepada kita hukum syara’ terdahulu, tanpa disertai dengan nash yang menghapuskan kita, maka ia mengandung pengertian sebagai penetapan hukum bagi kita. Sebab ia adalah hukum ilahi yang disampaikan rasul kepada kita dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengangkatannya dari kita, dan karena al-qur’an adalah membenarkan terhadap kitab Taurat  dan Injil yang ada padanya. Oleh karena itu hukum yang tidak dihapuskan pada salah satu dari keduanya berarti ditetapkan keduanya.[13]
Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS. Ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan Al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapa pun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan. Akhirnya Allah mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya (Umat Islam). Allah juga menjadikan setiap perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat dengan melegalkan semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah.[14]
Telah jelas digambarkan diatas bahwa syariat terdahulu yang jelas dalilnya baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama’. Namun yang diperselisiskan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka seperti firman Allah :
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ÎŽötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ......

Artinya : “ Oleh karena itu kami tetapkan suatu hukum bagi bani israil bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau karena berbuat kerusakan dimuka bumi maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.....” (Al-maidah ayat : 32).

G.    Macam-macam Syar’u Man Qoblana
dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a)       Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
b)      Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
c)       Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.[15]
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.
Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad SAW.
Selain dari itu Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
                     1.      Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.
                     2.      Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.
                     3.      Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.
Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini (Syar’u Man Qablana) yaitu :
a.       Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b.      Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.[16]
Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
a)      Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalau saja telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am ayat 90, al-Nahl ayat 123, dan surat al-Syura ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod (ص) ayat 24.
b)      Kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi ”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat ”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
c)      Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
(1)   Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
(2)   Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
(3)   Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
(4)   Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syaiat terdahulu.[17]

H.    Contoh-contoh Syar’u Man Qoblana
a.       Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
b.      Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
Contoh : Perintah menjalankan puasa.
c.       Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
d.      Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
e.       Di nyatakan dalam syariat kita, di mubahkan kepada kita, namun diharamkan bagi umat terdahulu. Contohnya adalah Allah SWT. Mengharamkan binatang berkuku, lemak dan kambing. Namun,di mubahkan bagi kita.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Madzhab adalah isim makan ( kata yang menunjukkan tempat ) yang diambil dari fi’il madhi ( kata dasar ) zahaba yang berarti pergi. Bisa juga berarti ar-ra’yu yang berarti pendapat .
Mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib.
Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu; Pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat lain, dan kehujjahannya terdapat generasi berikutnya atau orang yang selain sahabat.
Madzhab shahabi ini dapat dikelompokan dalam empat kategori yaitu:
1.      Pendapat sahabat mengenai suatu persoalan yang bukan medan ijhtihad, disepakati sebagai hujjah karena dikategorikan sebagai sunnah yang berasal dari Nabi.
2.      Pendapat sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka masuk kategori ijmak sahabat yang disepakati kehujjahannya.
3.      Pendapat sahabat perorangan tidak mengikat sahabat yang lain.
4.      Yang diperselisihkan oleh ulama adalah apakah madzhab secara perseorangan mengikat ulama islam sesudahnya atau tidak.
Syar’u Man Qablana secara etimologis berarti: “Hukum yang disyari’atkan oleh Allah SWT bagi orang-orang (umat-umat) sebelum kita”. Yang dimaksud Syar’u Man Qablana oleh para ahli ushul ialah syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw.
Jika dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
1.      Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2.      Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
3.      Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.

B.     Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan adalah bagian dari kita. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga memberi manfaat bagi kita semua. Aamiin. Terima kasih.




















KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini berjudul “Madzhab Shahabi dan Syar’u Man Qablana”.Makalah ini secara garis besar akan membahas tentang Masalah Pengertian, Kehujjahan, Pengelompokan dan Contoh-Contoh dari Madzhab Shahabi dan Syar’u Man Qablana.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memandu sehingga makalah yang kami buat ini dapat diselesaikan.
Penulis telah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan makalah ini.Jika masih ada kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini kami memohon kritik dan saran demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi  referensi untuk makalah kedepan.


Bengkulu,    April 2015


Penulis,








ii
 
 


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL    
KATA PENGANTAR  ...........................................................        ii
DAFTAR ISI ............................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...............................................................        1
B.     Rumusan Masalah...........................................................        1
C.     Tujuan Masalah...............................................................        1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mazhab Shahabi ...........................................        2
B.     Kehujjahan Madzhab Shahabi ........................................        4
C.     Macam-Macam Madzhab Shahabi .................................        8
D.    Contoh-Contoh Madzhab Shahabi .................................        9
E.     Pengertian Syar’u Man Qalbana .....................................        10
F.      Kehujjahan Syar’u Man Qablana ...................................        12
G.    Macam-Macam Syar’u Man Qablana .............................        15
H.    Contoh-Contoh Syar’u Man Qablana ............................        18
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .....................................................................        19
B.     Saran ...............................................................................        20
DAFTAR PUSTAKA












iii
 
 


DAFTAR PUSTAKA
Munir, Samsul, amin. 2009. Kamus islam Ushul fiqh . Jakarta: Amzah.
Rahman, Fachtur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT ALMA ‘ARIF.
Abbas, Abu, Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdul Lathif, Tajrid al-Shorih, juz II.
Lahmudin Nasution. 2001. Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Departemen Agama. 2007.Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, DEPAG.
Dahlan, Abd. Rahman Dahlan. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Khalaf, Abdul Wahab. 1995. Ilmu Ushul fiqh. Jakarta: PT Rineka cipta.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ushul fiqh. Bandung, Pustaka setia.
Jumantoro, Totok. 1998. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Solo: Sinar Grafika Offse.

Sumber dari Internet:
Adil Hidayat. 2012. Syar’u Man Qablana. Dikases melalui : http://hitampelangiku.blogspot.com/2010/01/syaru-man-qoblana.html pada tanggal 14 April 2015 Pukul 21: 30 WIB.
Andi Putra. 2014. Syar’u Man Qablana Sebagai Dalail Syara’. Diakses melalui : Forumkajiansantrisidogiri.blogspot.com/2009/10/syar’u-manqablana-sebagai-dalil-syara’.html. pada tanggal 15 April 2015 Pukul 20:06 WIB.
Arafat Nurdin. 2014. Mazhab Qawl Al-Ashabi. Diakses melalui: http://arafat-nurdin.blogspot.com/p/mazhab-qawl-al-shahabi.html pada tanggal 14 April 2015 Pukul 07: 47 WIB.
Ghoffar. 2011. Syar’u man Qablana. Diakses melalui: http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=17&cpage=1#comment-23779 pada tanggal 14 April 2015 pukul 20:45 WIB.
Sri Astuti. 2009. Syar’u Man Qablana. Dikases melalui: www.Sriastuti069. Wordpress.com/2009/17/syar’u-man-qablana pada tanggal 15 April 2015 pukul 20:05 WIB.
Tammim Syafi’i. 2013. Ushul Fiqh (Syar’u Man Qablana).  . dikases melalui: http://tammimsyafii.blogspot.com/2013/11/ushul-fiqh-syaru-man-qoblana.html. pada tanggal 13 April 2015. Pukul 14:25 WIB.
 



[1] Drs. Samsul munir amin, M.ag, Kamus islam Ushul fiqh ( Amzah, Jakarta, 2009 ) hal 175.
[2] Drs Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadiits, PT ALMA ‘ARIF, Banndung,  1974  hal 290.
[3] Abu ‘Abbas Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdul Lathif, Tajrid al-Shorih, juz II, hal 55.
[4] Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2001. hal.135
[5] Arafat Nurdin. 2014. Mazhab Qawl Al-Ashabi. Diakses melalui: http://arafat-nurdin.blogspot.com/p/mazhab-qawl-al-shahabi.html pada tanggal 14 April 2015 Pukul 07: 47 WIB.
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
[7] Ghoffar. 2011. Syar’u man Qablana. Diakses melalui: http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=17&cpage=1#comment-23779 pada tanggal 14 April 2015 pukul 20:45 WIB.
[8] Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, DEPAG, 2007
[9] Adil Hidayat. 2012. Syar’u Man Qablana. Dikases melalui : http://hitampelangiku.blogspot.com/2010/01/syaru-man-qoblana.html pada tanggal 14 April 2015 Pukul 21: 30 WIB.
[10] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm 230.                                                       
[11]Tammim Syafi’i. 2013. Ushul Fiqh (Syar’u Man Qablana).  . dikases melalui: http://tammimsyafii.blogspot.com/2013/11/ushul-fiqh-syaru-man-qoblana.html. pada tanggal 13 April 2015. Pukul 14:25 WIB.
[12] Syekh Abdul wahab khalad, Ilmu Ushul fiqh, PT Rineka cipta, jakarta, 1995. h.162-168.
[13] Abdul Wahab Khalaf, Op Cit. Hal. 133.
[14] Rachmat Syafe’i, Ushul fiqh, ( Bandung, Pustaka setia :2010)hal 144
[15] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah,(Solo: Sinar Grafika Offset, 1998), hlm. 309.
[16] Sri Astuti. 2009. Syar’u Man Qablana. Dikases melalui: www.Sriastuti069. Wordpress.com/2009/17/syar’u-man-qablana pada tanggal 15 April 2015 pukul 20:05 WIB.
[17] Andi Putra. 2014. Syar’u Man Qablana Sebagai Dalail Syara’. Diakses melalui : Forumkajiansantrisidogiri.blogspot.com/2009/10/syar’u-manqablana-sebagai-dalil-syara’.html. pada tanggal 15 April 2015 Pukul 20:06 WIB.