Entri yang Diunggulkan

MAKALAH PENDEKATAN KAJIAN KEBUDAYAAN ISLAM (Oleh Rina Hartati, SHI)

BABI PENDAHULUAN Secara umum studi Islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada...

Rabu, 01 November 2017

MAKALAH PASCA SARJANA "PEMBAHARUAN HUKUM MUSLIM DI IRAN"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan hukum keluarga hingga saat ini masih menjadi pembahasan yang menarik baik di dunia pendidikan maupun dalam politik perundang-undangan, persoalan ini menjadi menarik karena memiliki implikasi yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga perlu adanya pengaturan yang signifikan dalam persoalan ini, kalangan legislatif diharapkan mampu menelorkan sebuah pembaharuan hukum keluarga yang mampu menjadi penyangga yang sesuai dengan kondisi kehidupan dalam keluarga di zaman ini.
Pembaharuan hukum Islam dalam bidang hukum keluarga telah dimulai sejak abad ke 20 di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Seperti Turki pada tahun 1917, Mesir  pada tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan pada tahun 1961 dan Indonesia pada tahun 1974. Namun pembaharuan tersebut berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Pertama, kebanyakan negara melakukan pembaharuan dalam bentuk Undang-undang. Kedua, ada beberapa negara yang melakukannya dengan berdasar dekrit (Raja atau Presiden), seperti Yaman Selatan dengan dekrit raja tahun 1942 dan Syria dengan dekrit Presiden tahun 1953. Ketiga, ada negara yang usaha pembaharuannya dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadhi al-Qudha) seperti yang dilakukan Sudan.[1]
Pembahasan masalah hukum keluarga di dunia muslim sangat menarik untuk dikaji sebagai bahan pertimbangan, referensi dan bahan diskusi untuk mewujudkan bentuk hukum yang lebih komprehensif dalam kesesuaiannya dengan perkembangan zaman yang membutuhkan pembaharuan dalam setiap konsep hukum yang akan dijadikan landasan dalam negara muslim.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, penulis berkesempatan untuk menjelasakan secara rinci tentang hukum keluarga di Iran yang akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pembaharuan Hukum Keluarga?
2.      Bagaimanakah pola bentuk pembaharuan Hukum Keluarga & negara-negara mana saja yang melakukan pembaharuan Hukum Keluarga?
3.      Bagaimanakah sejarah perkembangan Hukum Keluarga di Iran?
4.      Apa saja materi reformasi Hukum Keluarga Iran pra-revolusi?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini  adalah selain untuk mengungkap jawaban atas permasalahan diatas, juga untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”. Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat, dan dapat menambah wawasan kita dalam khasanah ilmu pengetahuan.





















BAB II
PEMBAHASAN
“PEMBAHARUAN HUKUM MUSLIM DI IRAN”
A.    Pengertian Hukum Keluarga
Hukum keluarga secara umum adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkara perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).[2]
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antarabeberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari isteri (suaminya). Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada sangkut pautnya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan.[3]

B.     Pola Bentuk Pembaharuan Hukum Keluarga & Negara-Negara Yang Melakukan Pembaharuan Hukum Keluarga
Pola bentuk pembaruan hukum keluarga muslim ini terbagi atas dua yaitu: 1) Intra Doctrinal Reform yakni pembaruan yang masih berkisar pada pendapat-pendapat iman mazhab, dengan model: Talfif : mencampur adukan dengan undang-undang dan Tahayyur : tetap pada satu mazhab yang diikuti, dan 2) Extra  Doctrinal Reform Pola pembaruan yang sudah keluar dari Imam Mazhab, contohnya yaitu Poligami dilarang di Tunisia padahal dalam al-qur’an tidak dilarang, dengan dua pola: Metode Siasyah Syar’iyah dan Interpretasi Nash (melakukan ijtihad sendiri).[4]
Secara historis, proses pembaruan hukum keluarga muslim bisa dikelompokkan menjadi tiga fase yaitu:[5]
-          Fase tahun 1915-1950.
-          Fase tahun 1950-1971.
-          Fase tahun 1971 sampai sekarang.
Artinya ada sejumlah negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga dalam rentang waktu 1915 s/d 1950. Demikian juga ada sejumlah negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga dalam rentang waktu tahun 1950 s/d 1971. Dan ada pula sejumlah negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam dalam rentang waktu tahun 1971 s/d sekarang. Pengelompokkan fase (periode) ini tidak mesti benar, ada juga kemungkinan pengelompokkan lain. Pencantuman ini diharapkan sekedar untuk mempermudah pembahasan dengan catatan tidak menutupi kemungkinan dilakukan penetapan priodesisasi lain.[6]
Adapun negara-negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga pada masa rentang waktu 1915 s/d 1971 yaitu Turki, Libanon, Mesir, Sudan, Iran, dan Yaman Selatan. Dan negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga rentang waktu tahun 1950 s/d tahun 1971 yaitu Yordania, Syria, Tunisia, Maroko, Irak, Algeria dan Pakistan. Sedangkan Negara-negara yang memperbaharui hukum keluarga pada rentang tahun 1971 s/d sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) Negara yang baru pertama kali melakukan pembaharuan (kodifikasi), 2) Melakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang yang telah dikodifikasi sebelumnya. Adapun Negara-negara tersebut adalah Afganistan, Banglades (merdeka tahun 1971), Libya, Indonesia, Yaman Selatan, Somalia, Yaman Utara, Malaysia, Brunei dan Republik Yaman.[7]

C.    Tujuan Pembaharuan Hukum Keluarga
Adapun tujuan pembaharuan hukum keluarga secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Unifikasi hukum perkawinan, Peningkatan status wanita, dan Respon terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.[8]
Tujuan unifikasi hukum dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
1.      Pertama, unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh warga Negara tanpa memandang agama, misalnya kasus yang berlaku di Tunisia. 
2.      Kedua, unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua aliran pokok dalam sejarah muslim, yakni antara paham sunni dan shi’i, di mana Iran dan Irak termasuk di dalamnya, karena di Negara bersangkutan ada penduduk yang mengikuti kedua aliran besar tersebut. 
3.      Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya ada pengikut mazhab-mazhab yang bersangkutan.
4.      Keempat, unifikasi dalam satu mazhab tertentu, misalnya di kalangan pengikut Syafi’i atau Hanafi atau Maliki. Dengan menyebut unifikasi dari antar mazhab bukan berarti format pembaharuan yang ditemukan dengan sendirinya beranjak dari dan berdasarkan mazhab yang ada di Negara yang bersangkutan. Boleh jadi formatnya diambil dari pandangan mazhab yang tidak ditemukan sama sekali di Negara yang bersangkutan. Contoh, di Indonesia yang penduduknya Muslimnya mayoritas bermazhab Syafi’I bukan berarti format hukum keluarganya sepenuhnya sesuai dengan pandangan-pandangan Imam Syafi’I dan ulama Syafi’I, tetapi boleh jadi pada bagian-bagian tertentu mengambil dari pandangan mazhab Zahiri atau mazhab Hanafi atau mazhab Maliki dan seterusnya. Kelima,unifikasi dengan berpegang pada pendapat imam di luar imam mazhab terkenal, seperti pendapat Ibn Syubrumah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan lain-lain.[9]
Beberapa negara melakukan pembaharuan hukum keluarga dengan tujuan untuk mengangkat status wanita muslimah. Tujuan pengangkatan status wanita ini sering pula dengan merespon tuntutan dan perkembangan zaman dan tujuan unifikasi hukum. sehingga tujuan pengangkatan status wanita seiring pula dengan tujuan unifikasi hukum dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman. Berdasarkan latar belakang lahirnya tuntutan pembaharuan hukum keluarga dapat disimpulkan bahwa ketiga tujuan pembaharuan tersebut di atas sejalan dan seiring di mayoritas Negara Muslim.
Dari sekian cakupan perundang-undangan perkawinan, ada minimal 13 hal yang mengalami perubahan atau terjadi pembaharuan, yaitu:[10]
a.       Masalah pembatasn umur minimal kawin.
b.      Masalah peranan wali dalam nikah.
c.       Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan.
d.      Masalah keuangan perkawinan: maskawin dan biaya perkawinan.
e.       Masalah poligami dan hak-hak istri dalam poligami.
f.       Masalah nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal.
g.      Masalah talak dan cerai di muka pengadilan.
h.      Masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya.
i.        Masalah masa hamil dan akibat hukumnya.
j.        Masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak-anak setelah terjadi perceraian.

D.    Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga di Iran
Reformasi Hukum Keluarga Iran
Sejak tahun 1928 hingga 1935 hukum keluarga Iran telah dikodifikasi sebagai bagian dari hukum perdata. Ini semua bermula ketika pada tahun 1927, menteri keadilan Iran membentuk komisi yang bertugas menyiapkan draft hukum keluarga. Ketentuan-ketentuan selain hukum keluarga dan hukum waris diambil dari ketentuan-ketentuan Napoleon selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Sedangkan untuk hukum keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan sebagai unifikasi dan kodifikasi hukum syari’ah. Draft yang disusun oleh komisi tersebut disebut sebagai Qanun Madani (Civil Code/ Hukum Perdata) yang ditetapkan dalam tiga tahap antara tahun 1928-1935.[11]
Hukum perdata Iran mencakup berbagai aspek hukum. yang berkenaan dengan hukum waris diatur dalam pasal 861 – 949, sementara seluruh buku VII mengatur masalah hukum keluarga. Semua materi hukum waris dan keluarga didasarkan pada hukum keluarga syi’ah Isnan ‘Asyariyah (ja’fari). Materi hukum waris sebagaimana diatur dalam hukum perdata berlaku hingga saat ini, tanpa ada perubahan, sementara hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian tidak tehindar dari reformasi hukum.[12]
Hukum keluarga yang diatur dalam bab VII hukum perdata tahun 1935 mengalami reformasi beberapa kali pada tahun-tahun berikutnya. Hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian, secara terpisah, telah diundang-undangkan pada tahun 1931. UU tersebut memasukkan prinsip yang diatur oleh aliran-aliran hukum selain aliran isna asyri. Sebagian materinya didasarkan pada pertimbangan sosial budaya dan administrative. Pada tahun 1937 dan 1938 juga ditetapkan UU yang mengatur masalah perkawinan dan perceraian lebih lanjut. Reformasi yang lebih penting lagi dilakukan lembaga legislative iran pada tahun 1967. Pada tanggal 24 juni 1967 diundang-undangkan hukum perlindungan keluarga (Qanun himayat Khansiwada). UU ini bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami agar tehindar dari tindakan sewenang-wenang.[13]
Pada tahun 1975, hukum perlindungan keluarga yang baru ditetapkan. UU ini dimaksudkan untuk menggantikan hukum perlindungan keluarga tahun 1967. UU tahun 1975 ini, selain memasukkan ketentuan mengenai perceraian dalam UU sebelumnya, juga memasukkan perubahan-perubahanyang penting yang berkenaan dengan perceraian. UU ini juga membatasi pemberian ijin poligami oleh pengadilan hanya pada kondisi-kondisi yang spesifik.[14]

Kembali Pada Hukum Keluarga Tradisional
Hukum keluarga Iran kembali pada hukum keluarga tradisional sejak berhasilnya revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam Khumaini, rezim baru mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum di Negara Iran.[15] Konstitusi Republik Islam Iran 1979, antara lain menyatakan bahwa keluarga merupakan unit fundamental dalam masyarakat Islam, oleh karena itu, semua hukum, peraturan dan ketentuan administrative, harus dapat memmfasilitasi keutuhan keluarga. Konstitusi ini juga menekankan bahwa hubungan keluarga harus didasarkan pada hukum Islam.
Hukum Islam yang menjadi sumber hukum di Iran adalah hukum Ja’fari Isna Asy’ari. Sungguh pun demikian, aliran hukum yang diberi kebebasan untuk berkembang dan dipraktekkan oleh para pengikutnya. Hukum keluarga yang diatur di luar mazhab resmi negara juga menjadi sumber  hukum di pengadilan manakala pihak yang berperkara berasal dari pengikut mazhab tersebut.
Pada tahun 1982, Mahkamah Agung Iran mengeluarkan keputusan –Bakhsnamah- khususnya, ditujukan kepada seluruh pengadilan Iran, agar tidak menggunakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh lembaga non legislative Islam era pra-revolusi. System hukum Islam seluruhnya akan diberlakukan



di Iran. Hukum pidana tahun 1912 dan hukum perdata 1928-1935 dicabut, selanjutnya diterapkan hukum Islam. Hukum keluarga 1931-1938 dan hukum perlindungan keluarga 1975, dipandang telah melewati batas hukum Islam mapan, maka UU ini juga dicabut. Selanjutnya hukum keluarga Islam dikembalikan pada mdzhab mayoritas, ja’fari Isna Asy;arid an madzhab minoritas (sunni).[16]

E.     Bebarapa Materi Reformasi Hukum Keluarga Iran Pra-Revolusi[17]
1.      Pencatatan Perkawinan
Sebagaimana telah diatur dalam undang-undang hukum perkawinan tahun1931 pasal I bahwa setiap perkawinan sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang, pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dihukum penjara selama satu hingga 6 Bulan.
Aturan tentang permasalahan ini hanya bersifat administrative saja karena pelanggarnya hanya dikenakan hukuman fisik saja sedangkan perkawinannya tetap sah. Peraturan ini tidak dijumpai dalam pemikiran hukum klasik baik dalam Syi’ah maupun Sunni.
2.      Perkawinan di bawah Umur
Usia minimum yang diatur dalam hukum Perdata Iran pasal 1031 adalah 18 untuk pria dan 15 untuk wanita. Bagi seseorang yang mengawinkan di bawah usia tersebut maka akan dipenjara antara 6 bulan hingga 2 tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah umur 13 tahun maka yang mengawinkan dikenakan penjara 2 hingga 3 tahun, selain juga masih harus membayar denda 2-20 Riyal, ini diatur dalam hukum kelarga Iran tahun 1931-1937 pasal 3.
Hal ini dianggap sebagai pembaharuan karena sangat berbeda dengan pendapat madzhab yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Iran yaitu  mazdhab Ja’fari yang memberikan batasan usia 15 untuk pria dan 9 tahun untuk wanita.[18]
3.      Perjanjian Kawin
Dalam hukum perkawinan Iran pasal 4 dijelaskan pasangan yang berniat untuk melangsungkan perkawinan boleh membuat perjanjian dalam akad perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan. Perjanjian tersebut dilaksanakan di bawah perlindungan pengadilan.
4.      Poligami
Suami yang akan menikah lagi harus memberitahukan kepada calon istri tentang statusny, pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi hukum perlindungan keluarga tahun 1967. Selain itu juga harus mendapat ijin dari istri, jika ketentuan ini dilanggar, istri dapat mengajukan permohonan cerai ke pengadilan. Suami juga harus mendapat ijin dari pengadilan yang sebelumnya akan memeriksa apakah suami dapat menafkahi lebih dari seorang istri dan apakah dia mampu berbuat adil. Pelanggaran ketentuan ini akan dikenakan hukuman kurungan selama 6 bulan hingga 2 tahun.
Sekali lagi persoalan ini juga merupakan reformasi regulatory atau administrative belaka karena hanya mendapatkan sanksi fisik tanpa mebatalkan status perkawinannya. Aturan-aturan seperti ini tidak didapatkan dalam madzhab ja’fari maupun madzhab hukum yang lain.
5.      Nafkah Keluarga
Dalam hukum perlindungan keluarga tahun 1967 pasal 10 disebutkan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah pada istrinya. Nafkah ini meliputi sandang, pangan, tempat tinggal dan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang layak. Jika suami tidak melaksanakannya maka istri berhak mengadukan pada pengadilan, dan pengadilan akan member peringatan kepada suaminya, ketika tetap tiada perubahan istri boleh menuntut perceraian pada pengadilan. Aturan ini sejalan denan madzhab Ja’fari.
6.      Perceraian
Masalah perceraian telah terjadi reformasi administrative dan substantive dengan lahirnya Hukum perlindungan keluarga tahun 1967 yang menghapus wewenang suami mengiklarkan talak secara sepihak. Menurut pasal 8 UU tersebut setiap perceraian, apapun bentuknya harus didahului dengan permohonan kepada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “tidak dapat rukun kembali”. Sedangkan pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
-          Salah satu pasangan Gila permanen atau berulang-ulang.
-          Suami menderita impotensi, atau dikebiri atau alat fitalnya diamputasi.
-          Suami atau istri dipenjara 5 tahun.
-          Suami atau istri memiliki kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus berlangsung  dalam kehidupan rumah tangga.
-          Seorang pria tanpa persetujuan istri, kawin dengan wanita lain.
-          Salah satu pihak menghianati pihak lain.
-          Kesepakatan suami dan istri untuk bercerai.
-          Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri dalam kondisi tertentu.
-          Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum yang tetap karena melakukan perbuatan yang dapat dipandang mencoreng kehormatan keluarga.
7.      Penyelesaian Perselisihan Melalui Juru Damai (arbitrator)
Dalam pasal 6 hukum perlindungan keluarga disebutkan bahwa pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan dan perceraian yang berbelit-belit, ditangani sendiri oleh pengadilan.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-          Hukum keluarga secara umum adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkara perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
-          Pola bentuk pembaruan hukum keluarga muslim ini terbagi atas dua yaitu: 1) Intra Doctrinal Reform yakni pembaruan yang masih berkisar pada pendapat-pendapat iman mazhab, dan 2) Extra  Doctrinal Reform Pola pembaruan yang sudah keluar dari Imam Mazhab.
-          Secara historis, proses pembaruan hukum keluarga muslim bisa dikelompokkan menjadi tiga fase yaitu:
o   Fase tahun 1915-1950 (Turki, Libanon, Mesir, Sudan, Iran, dan Yaman Selatan)
o   Fase tahun 1950-1971 (Yordania, Syria, Tunisia, Maroko, Irak, Algeria dan Pakistan)
o   Fase tahun 1971 sampai sekarang  (Afganistan, Banglades (merdeka tahun 1971), Libya, Indonesia, Yaman Selatan, Somalia, Yaman Utara, Malaysia, Brunei dan Republik Yaman)
-          Pemberlakuan hukum keluarga muslim di Iran terjadi melalui tiga tahap. Pertama hukum keluarga berdasarkan mazhab Ja’fari tanpa reformasi, kedua hukum keluarga yang terkodifikasi dengan reformasi dan ketiga kembali pada hukum keluarga klasik. Reformasi hukum keluarga di Iran terjadi ketika rezim yang berkuasa menjalankan kebijakan modernisasi, wasternisasi, dan sekularisasi. Reformasi hukum dilakukan ada yang bersifat regulatory, substansif dan dua-duanya. Aturan hukum yang ditetapkan pada masa ini, setelah berhasilnya revolusi Iran, kemudian dicabut karena dipandang melewati batas hukum Islam yang mapan. Selanjutnya kembali pada mazhab hukum ortodoks.

B.     Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya saran dan kritik dari rekan-rekan pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Cet. VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mahmodd, Tahir. 1972. Family law Reform in the Muslim Word. New Delhi: The Indian Law Institute.
-------------------.  1987. Personal Law In Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law and Religion.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Edisi I, Cet. I. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Muzdhar, 2003, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern Cet 1. Jakarta: Ciputat Press.
Sudarsono.1991. Hukum Kekeluargaan Nasional, Cet. I.Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sumber dari Internet:
Yus Maulana Azdy. 2014. Pembaharuan Hukum Keluarga. Dikases melalui : http://yusmaulanaazdy.blogspot.com/2014/05/makalah-pembaruan-hukum-keluarga-di.html. pada tanggal 18 April 2015 Pukul 13:29 WIB.













 



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
“PEMBAHARUAN HUKUM MUSLIM DI IRAN”
A.    Pengertian Hukum Keluarga.......................................................................... 3
B.     Pola Bentuk Pembaharuan Hukum Keluarga & Negara-Negara yang
Melakukan Pembaharuan Hukum Keluarga................................................... 3
C.     Tujuan Pembaharuan Hukum Keluarga......................................................... 4
D.    Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga di Iran........................................... 6
E.     Beberapa Materi Reformasi Hukum Keluarga Iran Pra-Revolusi.................. 8
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................... 11
B.     Kritik dan Saran............................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
iii
 
 












KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya Makalah ini dapat diselesaikan. Makalah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Pembaharuan Hukum Muslim di Iran) ini secara garis besar akan membahas tentang pembaharuan hukum keluarga di Iran serta yang terlebih dahulu akan membahas tentang masalah pengertian, pola bentuk pembaharuan, tujuan dan negara-negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan makalah ini. Namun penulis menyadari, masih terdapat  kesalahan dan kekurangan dalam makalah in, oleh karena itu penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah selanjutnya.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi  referensi untuk makalah kedepan.


Bengkulu,    April 2015


ii
 
Penulis



[1] Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim Word, (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972) hlm. 64.
[2] Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Cet. I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 5
[3] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Cet. VI, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), h. 93
[4] Yus Maulana Azdy. 2014. Pembaharuan Hukum Keluarga. Dikases melalui : http://yusmaulanaazdy.blogspot.com/2014/05/makalah-pembaruan-hukum-keluarga-di.html. pada tanggal 18 April 2015 Pukul 13:29 WIB.
[5] Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Edisi I, Cet. I, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 94
[6] Ibid,.
[7] Ibid,. h.95.
[8] Ibid,. h.93.
[9] Ibid,. h.94.
[10] Ibid,.
[11] Tahir Mahmood, Fanmily Law Reform.. hlm. 154.
[12] Muzdhar, 2003, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern Cet 1, ( Jakarta: Ciputat Press), h.56.
[13] Ibid., hal 57.
[14] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987) hlm. 216.
[15] Muzdhar, Opcit,. h.58.( lihat juga William L. Cleaveland, A History og Modern Middle East (San Fransisco : Westview Press, 1994. H. 410.)
[16] Muzdhar, Opcit, h. 57-58.
[17] Ibid,. h.59-63.
[18] Ibid,. (lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur AB, Cet IV. Jakarta: Lentera, 1999. h. 316-318)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar